1) Klasifikasi Vokal
Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah
dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal dan horizontal. Secara
vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya bunyi [ i ] dan [ u ];
vokal tengah, misalnya [ e ] dan [ ә ]; dan vokal rendah, misalnya, bunyi [ a ]. Secara horizontal dibedakan
adanya vokal depan, misalnya [ ] dan [e]; vokal pusat , misalnya;
bunyi [ ә ] ; dan vokal
belakang, misalnya; bunyi [u] dan [o].
Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut vokal dibedakan sebagai berikut;
[ i ] adalah vokal depan tinggi tak bundar
[ e ] adalah vokal depan tengah tak bundar
[ ә ] adalah vokal pusat tengah tak
bundar
[ o ] adalah vokal belakang tengah bundar
[ a ] adalah vokal pusat rendah tak bundar
2) Klasifikasi Diftong atau
Vokal Rangkap
Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi
ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu
menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta
strikturnya,. Namun, yang dihasilkan bukan dua buah bunyi, melainkan hanya
sebuah bunyi karena berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa
Indonesia adalah [ au ] seperti terdapat pada kata kerbau dan harimau.
Contoh lain bunyi [ ai ] seperti terdapat pada kata sungai dan
landai, Contoh lain bunyi [ oi ] seperti pada kata amboi dan sepoi.
Apabila ada dua buah vokal berturutan, namun yang pertama terletak pada suku
kata yang berlainan sari yang kedua, maka di situ tidak ada diftong. Jadi,
vokal [ au ] dan [ ai ] pada kata bau dan lain
bukan diftong.
Mengapa disebut diftong naik dan diftong turun?
Disebut diftong naik karena adanya bunyi pertama posisinya lebih rendah
dari posisi bunyi yang kedua; sebaliknya disebut diftong turun karena posisi
bunyi pertama lebih tinggi dari posisi bunyi kedua, dalam bahasa Indonesia
hanya ada diftong naik, sedangkan dalam bahasa Inggris ada diftong naik dan
turun. Mengenai jenis diftong tersebut, ada konsep yang berlainan. Diftong naik
atau diftong turun bukan ditentukan berdasarkan posisi lidah melainkan
didasarkan atas kenyaringan (sonoritas) bunyi itu. Kalau sonoritasnya terletak
di muka atau pada unsur yang pertama . Maka dinamakan diftong turun; kalau
sonoritasnya terletak pada unsur kedua maka namanya diftong naik.
Umpamanya, bunyi [ ai ] pada kata landai, sonoritasnya terletak pada
unsur pertama, sedangkan pada kata Prancis moi yang dilafakan [mwa]
sonoritasnya terletak pada unsur kedua. Jadi, pada kata itu terda[at diftong naik (Parera,
1983).
3)
Klasifikasi Konsonan
Berdasarkan tempat artikulasinya kita mengenal konsonan sebagai berikut:
·
Bilabial, yaitu
konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir
atas. Yang termasuk konsonan bilabial ini adalah [ p
], [ m ], dan [ b ]. Dalam hal ini perlu diperhatikan bunyi [ p ]
dan [ b ] adalah bunyi oral, yaitu yang dikeluarkan melalui rongga
mulut, sedangkan [ m ] adalah bunyi nasal yang dikeluarkan melalui
rongga hidung.
·
Labiodental, yaitu konsonan yang terjadi pada
gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat pada bibir atas. Yang
termasuk konsonan labiodental adalah bunyi [ f ] dan [ v ].
·
Laminoalveolar, yaitu
konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi; dalam hal ini, daun lidah
menempel pada gusi. Yang termasuk konsonan ini adalah bunyi [ t ] dan [
d ].
·
Dorsovelar, yakni
konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum atau langit-langit lunak.
Yang termasuk konsonan ini adalah bunyi [ k ] dan [ g ].
Berdasarkan
cara artikuasinya, artinya bagaimana gangguan atau hambatan yang
dilakukan terhadap arus udara itu, pembagian konsonan sebagai berikut:
1.
Hambai (letupan, plosif, stop) di sini artikulasi menutup
penuh aliran udara, sehingga udara mampat di belakang tempat penutupan
itu. Kemudian penutupan itu dibuka secara tiba-tiba, sehingga menyebabkan
terjadinya letupan. Yang termasuk konsonan ini adalah [ p, b, t, d, k,
g ].
2.
Geseran atau frikatif. Di sini artikulasi aktif
mendekati artikulator pasif, membentuk celah sempit, sehingga udara yang
lewat mendapat gangguan pada celah itu. Misalnya bunyi [ f, s, dan z
].
3.
Paduan atau frikatif. Di sini artikulator aktif
menghambat sepenuhnya aliran udara, lalu membentuk celah sempit dengan
artikulator pasif. Cara ini merupakan gabungan antara hambatan
dan frikatif. Misalnya bunyi [ c ] dan [ j ].
4.
Sengauan atau nasal. Di sini
artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui mulut, tetapi
membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas. Misalnya bunyi [
m ], [ n ], dan [ ŋ ].
5.
Geseran atau trill. Di sini artikulator aktif
melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif, sehingga getaran bunyi itu
terjadi berulang-ulang. Misalnya konsonan [ r ].
6.
Sampingan atau lateral. Di sini artikulator aktif
menghambat aliran udara pada bagian tengah mulut; lalu membiarkan udara keluar
melalui samping lidah. Contohnya konsonan [l].
7.
Hampiran atau aproksiman. Di sini artikulator aktif dan
pasif membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam
pembentukan vokal, tetapi tidak cukup seperti untuk menghasilkan konsonan
geseran. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan sering juga disebut semi vokal.
Misalnya konsonan [ w ], [ y ].
Terima Kasih kak, Sangat bermanfaat...
BalasHapus